"Majelis Rayat Papua adalah Roh dari Undang-undang Otonomi Khusus 2001". Saya hendak memberi catatan sedikit diartikel ini, bahwa ...

"Majelis Rayat Papua adalah Roh dari Undang-undang Otonomi Khusus 2001".
Saya hendak memberi catatan sedikit diartikel ini, bahwa menurut saya, Rapat Dengar Pendapat (RDP) MRP itu sangatlah penting untuk dilaksanakan, karena perlu menjaring Aspirasi masyarakat Orang Asli Papua tentang Otonomi Khusus, berhasil atau tidak dan itu di bahas dalam pertemuan yang dimaksud.
Oleh sebab itu masing-masing peserta yang ikut hadir dalam kegiatan yang dimaksud punya hak menyampaikan pandangan dan pedapat dengan terbuka menolak Otsus Jilid II atau dilanjukan Otonomi Khusus Jilid II itu adalah bagian dari hak Asasi masyarakat sipil
Ungkapan otsus lanjut atau tidak mestinya dapat disampaikan dalam pertemuan yang dimaksud, tetapi karena ada sebagian kelompok juga yang menolak kehadiran MRP yang hendak melaksanakan kegiatan ( RDP) Rapat Dengar Pendapat, sehingga aspirasi secara resmi menolak atau menerima dapat disampaikan di saat pertemuan. Karena masing-masing orang punya pandangan yang berbeda, sehingga penolakan dapat terjadi, akhirnya Majelis Rayat Papua batal melaksanakan kegiatan Rapat Dengar Pendapat.
Pandangan saya masyarakat yang menolak Kehadiran Majelis Rayat Papua, yang hadir sebagai roh otonomi Khusus juga termasuk ikut menolak Otonomi Khusus jilid II. Karena Majelis Rayat Papua terbentuk karena adanya Amanat Undang-undang Otonomi Khusus itu sendiri.
Oleh karena itu, kalau kita bicara jujur dapat mengatakan bahwa Majelis Rayat Papua (MRP ) adalah ROH dari Undang-undang Otonomi Khusus 2001, Sebab Majelis Rayat Papua belum bisa terbentuk tanpa amandemen Undang-undang Otsus 2001. Sehingga saya punya pandagan bahwa bagi masyarakat yang menolak otsus jilid II dan masyarakat yang ingin melanjutkan Otsus jilid II, sama-sama telah menolak Otonomi khusus jilid II.
OTSUS JILID II DITOLAK ATAU DILANJUTKAN HAK PATEM ADA PADA MASYARAKAT ORANG ASLI PAPUA.
Otonomi jilid II mau ditolak atau diterima HAK PATEN ada di masyarakat sipil Orang Asli Papua, bukan Gubernur, bukan DPRP, bukan Bupati-bupati, bukan DPRD, bukan Intelijen, bukan TNI/POLRI, bukan Akademisi dan bukan LSM tetapi Rayat, karena yang berkuasa terhadap Undang-undang Otonomi Khusus 2001 adalah masyarakat Orang Asli Papua.
Mengapa saya dapat mengatakan Undang-undang Otsus 2001 berkuasa adalah masyarakat Orang Asli Papua?
Menurut saya, Undang-undang otsus diamandemenkan oleh Pemerintah Indonesia. Karena saat itu masyarakat Orang Asli Papua telah menyatakan sikap dan keinginannya untuk MERDEKA DAN REFRENDUM ingin bebas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, keinginan itu mulai berakar sampai ke akar rumput, hingga sampai ke Internasional. Sehingga untuk meredam isu Politik Papua Merdeka, Pemerintah Pusat mengambil langka cepat mengamandemenkan Undang-undang Otonomi Khusus 2001.
Oleh sebab itu yang bisa menilai otsus gagal dan berhasil hanya Masyarakat sipil Orang Asli Papua, sebagai penguasa Undang-undang Otonomi Khusus 2001, dan tidak ada kelompok manapun yang bisa dapat mengatakan pemerintah yang berkuasa terhadap UU Otsus 2001. Kalau ada yang dapat mengatakan bahwa Pemerintah yang berkuasa atas UU Otonomi Khusus itu bagian dari kekeliruan.
PEMERINTAH BUKAN PENENTU ATAU HAK PATEN OTSUS 2001
Perlu ketahui bahwa Pemerintah dalam hal ini Gubernur, DPRP, MRP, Bupati, DPRD, TNI/POLRI, LSM bukan sebagai Hak Peten untuk menentukan Otonomi Khusus lanjut atau tidak?
Karena hak Paten Otonomi Khusus 2001 lanjut atau tidak? Semua ini kembali kepada masyarakat Orang Asli Papua sendiri
PEMERINTAH PUSAT, DAERAH DAN TNI/POLRI KHWATIR DENGAN KATA REFRENDUM.
Menurut saya, pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat yang direncanakan oleh Majelis Rayat Papua, anggarannya telah biayai oleh pemerintah Pusat, untuk melaksanakan kegiatan Rapat Dengar Pendapat, bukan anggaran dari MRP sendiri, bagi saya rasa lucu, karena kegiatan yang dimakaud dibiayai oleh Negara, namun justru dapat menghalagi oleh Pemerintah dan Aparat TNI/POLRI, sebagai alat Negara, dan sebagian masyarakat sipil yang diperalat untuk menghalagi kegiatan tersebut.
Kegiatan RDP dapat di halangi hanya karena ada keraguan dan kehawatiran terhadap masyarakat orang asli Papua yang menolak Otsus Jilid II dan kemudian siap menyatakan " REFRENDUM " sehingga kata REFRENDUM menjadi duri bagi Bupati-bupati, Pemerintah Pusat dan Aparat TNI/ POLRI. Sehingga berusaha semaksimal untuk membatalkan Rapat Dengar Pendapat.
Kemungkinan besar menurut saya REFRENDUM bagi Papua telah berakar, sehingga wajar saja Pemerintah Pusat dan kaki tangannya yang ada di Daerah bisa saja menolak, hanya karena keraguan saja.
Negara kita adalah Negara Demokrasi sehingga maayarakat dapat menyampaikan pendapat dengan terbuka sah-sah saja, dan apapun yang disampaikan adalah sebagai bahan pertimbanagan bagi Pemerintah Pusat, untuk dipertimbangkan
RUANG DEMOKRASI HAK UNTUK MENYAMPAIKAN PENDAPAT TELAH DI BATASI.
Ruang Demokrasi bagi masyarakat Papua yang hak ingin menyampaikan pendapat telah di batasi dengan tindakan penangkapan, penyanderaan, pemalangan dan penghalangan. Sekalipun masyarakat sebagai Warga negara yang punya hak untuk menyampaikan pendapat dimuka umum dalam bentuk apa saja, sekalipun masyarakat menyampaikan minta refrendum, karena negara kita adalah Negara Demokrasi bukan negara Otoriter.
Sehingga saya melihat sedang terjadi perbedaan antara masyarakat Indonesia Barat dan masyarakat di Indonesia Timur, kami selalu nonton di TV, masyarakat Indonesia Barat bebas menyampaikan pendapat dalam bentuk apa saja, sekalipun portokoler kesehatan telah di batasi. Disitulah terjadi ketidak adilan yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap masyarakat Indonesia Barat dan Indonesia Timur di Pulau Papua.
KELOMPOK LMA & PEPERA, BEBAS MENYAMPAIKAN PENDAPAT
Saya heran kebebasan menyampaikan pendapat bagi kelompok masyarakat yang lain, dapat dilakulan tanpa surat pemberitahuan kepada pihak kepolisian Polres Jayawijaya sedangkan dalam Undang-undang kita dapat ketahui bahwa bagi masyarakat yang hendak menyampaikan pendapat, harus mengajukan surat Pemberitahuan kepada pihak Kepolisian selambat-lambatnya sebelum 3 hari.
Kemudian Pihak Kepolisian mengeluarkan surat ijin keramaian, terkait aksi demo yang akan disampaikan, tetapi baru-baru ini aksi yang dilakukan Masyarakat LMA dan kelompok yang menamakan diri, kelompok PEPERA di Kabupaten Jayawijaya melakukan aksi berturut-turut hingga sampai 2 kali tanpa surat ijin keramaian, dan pihak Polres Jayawijaya jadi penonton setia pada saat aksi berlangsung
Menurut saya pihak aparat Keamanan Polres Jayawihaya, telah melakukan proses pembiaran dan tidak patut pada undang-undang menyampaikan pendapat karena kewajiban mengeluarkan surat tidak dapat di indahkan.
Menurut saya kelompok mana saja, yang menyampaikan pendapat adalah bagian dari hak sebagai warga negara tetapi sebagai warga negara yang baik perlu patuhi undang-undang yang ada di Negara Republik Indonesia.
Wamena, 25 November 2020
Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua (Pembela HAM)
Telp. 0813445543374
Direktur Eksekutif,
Theo Hesegem
Theo Hesegem